I'm in searching process ...
The blog pretty much will be about my expression and thought so that I will be able to walk on this land like a man ...
Tuesday, April 13, 2010
Tuesday, May 5, 2009
MANTAN KEKASIH
Begitulah mas Adi menceritakan kisah pertemuannya dengan mantan kekasihnya Ria. Dulu Mas Adi mencintai Ria dengan sepenuh hati, kini mas Adi mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raganya. Dulu mas Adi bilang aku disini menunggumu, namun kini mas Adi bilang terlanjur cinta katanya. Ria memang bukan kekasihnya mas Adi lagi, Ria sudah menjadi mantan kekasihnya mas Adi karena sekarang Ria adalah istri tercinta mas Adi. Di dalam mobil itu Mbak Ria mengiyakan segala apa yang diceritakan mas Adi. Kadang sesekali menambahkan dan memprotes apa yang menurutnya salah. Bandara masih sekitar dua kilometer lagi, aku masih asyik mendengarkan cerita mas Adi dan mbak Ria seputar pertemuannya dulu. Dalam hati aku sedih karena akan meniggalkan Makassar. Daerah yang baru saja kukunjungi sekitar 3 hari yang lalu, kini sudah harus kembali ke jogja. Keramahan mas dan mbak Ria, ramahnya teman-teman yang baru saja kukenal disana, dan nuansa yang berbeda yang aku tertarik mengamatinya membuat aku merasa nyaman sekaligus terasa berat untuk meninggalkan ujung pandang. Ada pertemuan memang pasti ada perpisahan, sementara ada perpisahan belum tentu ada pertemuan. Itu sudah hukum alam yang tidak bisa dipungkiri. Walau bagaimanapun aku mensyukuri telah diberi kesempatan singgah di salah satu pulau terbesar di Indonesia. 1 kilo meter menuju bandara, tiba – tiba saja ada perasaan yang menggelitik dalam dada. Dalam benak ku maksimal seorang pria menikah itu tidak lebih dari umur 30 tahun. Usiaku sekarang adalah 22, jadi sekitar 8 tahun lagi aku punya waktu untuk senidiri. Delapan tahun lagi aku harus sudah sukses secara finansial dan pekerjaan. Maka selama delapan tahun aku harus bekerja keras mendapatkan cita, serta selama delapan tahun itulah aku harus meredam cinta. Cita terlebih dahulu, baru kemudian cinta. Bandara sudah di depan mata, Mas Adi dan Mbak Ria sudah siap – siap akan melepasku pulang di pintu masuk check in. Seketika itu juga semangat dan harapan muncul berlarian di kepalaku berteriak sangat keras “8 tahun!!”
Friday, April 24, 2009
MENAPAKI SULAWESI
Aku tidak pernah menyangka kalau suatu hari nanti aku berkesempatan menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Namun ternyata hari ini aku telah melihat dua jembatan kembar Sultan Hasanudin menjulang tinggi yang berada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jembatan ini disebut kembar karena memang terdapat dua jembatan sejenis yang dipakai untuk satu arah laju kendaraan pada masing-masingnya. Menurut cerita seorang teman yang baru saja kukenal disini, jembatan ini merupakan hadiah dari pemerintah Malaysia sewaktu berkunjung ke Gowa yang diterima oleh Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla.
Perjalananku ke salah satu pulau terbesar di Indonesia ini tidak ingin berlalu begitu saja. Aku ingin mengabadikannya dengan menulis. Agar nanti aku bisa kembali bernostalgia dengan tulisan yang pernah kubuat ini, sekaligus bisa berbagi dengan teman-teman yang lain ataupun malah anakku sendiri nanti yang akan mengamati dan mencermati ekspresi dan perasaan ayahnya ketika berpetualang diwaktu mudanya.
Tangan kananku menarik tas roda mini dan tangan kiriku membawa kado bingkisan buat temanku, mas Adi yang menikah diusianya yang ke 22. Adi merupakan ketua harian pengurus Bina Antar Budaya chapter Jogja masa bakti 2006 – 2008. Sementara aku adalah pengurus sendingnya. Keberadaan kami di kepengurusan chapter menjelaskan kenapa aku bisa sampai disini. Aku mewakili teman-teman pengurus lainnya menghadiri pesta pernikahan mas Adi di Makassar. Karena aku datang atas nama pengurus, maka akupun di beri subsidi secukupnya untuk keberangkatanku ke Pulau yang berbentuk huruf K ini. Walaupun harus meninggalkan aktifitasku yang bejibun termasuk aktifitas wajibku menghadiri kelas kuliah, tapi pesona Pulau Sulawesi lebih menggoda menjadi santapan cakrawala yang sayang kalau dilewatkan.
Kedatanganku ke Makassar ternyata tidak kalah terkesan dibanding dengan rantauanku ke Amerika pada pertama kalinya. Baru saja sebentar aku berada di bandara Sultan Hasanudin Makassar, aku sudah terkena roaming bahasa. Speaker pengumuman yang berbunyi, celoteh para petugas bandara, serta orang-orang sekelilingku menggunakan bahasa dengan nada yang ditarik-tarik. Walaupun diantara mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi tetap sulit kumengerti karena perbedaan nada. Lebih-lebih ketika aku sampai pada rumah mas Adi, aku terkena roaming bahasa total. Semua orang menggunakan bahasa daerahnya. Bahasa yang jauh dari bahasaku dengan nada yang jauh pula dari nada bahasaku. Walaupun begitu, aku ingin menambah pundi-pundi ilmu pengetahuanku dengan apapun yang bisa kudapatkan. Aku belajar bahasa Makassar. Inilah petikan pelajaran yang sudah aku pelajari.
Aku : Mau ki kamana?
Ibu Mas Adi : Ke Sekolah Ka
Aku : apa nu pare? (lagi ngapain / lagi buat apa?)
Arul : Mopo-mopo (duduk-duduk)
Aku : Kita mau nemenin nakke jalan-jalan kah? (Kamu mau nemenin aku jalan-jalan?)
Inul : Iye’ (Iya)
Mila : Aku ini pintar bernyanyi (dalam bahasa makassar)
Marwan : Pintar menyanyi di sawah dengan katak-katak yang lain (dalam bahasa makassar)
Mila : Ah kamu sirik aja wan (dalam bahasa makassar)
Marwan : Lagian kamu muji diri sendiri (dalam bahasa makassar)
Aku : Cukup na’ (Cukup dech!)
Muti : Aduh perutku sakit
Aku : Kenapa ki?
Kiki : Mungkin pengen mampir ke Baso Gegere (Gegere artinya rewel, pemilik baso ini berasal dari Solo)
Pengucapan dan penggunaan bahasa yang salah yang pernah aku coba:
Tubi di’ seharusnya tabe di’ atau mari ki di’ artinya permisi atau dalam bahasa jawa nyuwun sewu.
Ketika naik angkot (di Makassar Angkot dikenal dengan sebutan pe te – pe te) saya menanyakan Yuli berapa ongkos naik angkot. Lalu saya coba bertanya dengan bahasa makassar:
Berapa ki?
Kontan temenku tertawa terbahak-bahak karena kata yang baru saja kuucapkan itu mempunyai arti “berapa kamu?” untung saja temanku yang aku ajak bicara. Coba kalau orang lain, bisa digampar aku habis-habisan J
Selain bahasa, aku juga mengamati acara-acara pernikahan adat Makassar. Berikut rangkaian acara pernikahan yang berhasil aku dapatkan dari wawancaraku bersama mas Adi.
- Pau-pau : Pau-pau adalah kunjungan pertama kalinya orang tua putra ke orang tua putri untuk membicarakan perihal putra-putrinya yang ingin segera berlanjut ke pintu pernikahan.
- Assuroh : Assuroh adalah kunjungan lamaran oleh orang tua putra ke orang tua putri.
- Pana’e Bunting ke Putri
a. antaran erang-erang (mahar, sandang)
b. antaran bunting matigil untuk prosesi ijab kabul.
- Pesta di Putri (orang tua putra gak ikut)
- Lekka mengantarkan kedua mempelai ke rumah putra (orang tua putri gak ada yang ikut)
- Pesta di Putra
- Kunjungan Orang tua putra dengan kedua mempelai ke orang tua putri untuk meminta izin.
Kamis malam sekitar jam 10.45 aku pun bertolak ke Jakarta. Pesawat Air Asia dengan Airbus terbarunya membawaku pergi meninggalkan Makassar. Terhampar luas perairan Indonesia terlihat begitu gagah dari angkasa. Aku memuji Tuhan yang maha kuasa atas rahmat yang diberikan-Nya kepada Indonesia, atas rahmat teknologi manusia yang telah diberikan-Nya sehingga manusia dapat dengan sempurna mengamati dan menyadari kebesaran-Nya.
Selamat tinggal Makassar ...
Selamat tinggal teman-teman baru yang menyenangkan ...
Aku kan kembali menapaki Sulawesi suatu saat nanti ...
American Corner, 25 April 2009