I'm in searching process ...

The blog pretty much will be about my expression and thought so that I will be able to walk on this land like a man ...

Wednesday, May 14, 2008

Tiga Juri Final dan sugestinya


"Hey Zam, mau ke mana?" sapa kak Fikri setelah menyeleseikan makannya di kantin. "aku mau ke mini theater mas, kan lihat final lomba debat" "oh iya yah, sayang aku gak bisa lihat, ada acara sama teman. Tapi kali ini semoga jangan kelas IC yang menang" tambah kak Fikri. Kalimat itu begitu ringan ia sampaikan. Kak Fikri memang dari kelas IC (International Class) tapi memang beberapa tahun ini IC selalu menjadi juara debat tingkat fakultas yang diadakan UKM-SEA setiap tahunnya.
Aku bersama teman-temanku menuju mini theater untuk menyaksikan babak penentuan lomba debat. Tiba-tiba hp ku berbunyi, "Idham ini Mbak Tia, panitia menunjuk kamu sebagai salah satu juri final lomba debat. Kamu segera ke sini, kami tunggu!" dengan langkah ragu, aku menuju mini theater, tempat dimana Final lomba debat akan dilaksanakan. Aku memang biasa menjadi juri di lomba debat, tapi aku belum pernah yang untuk final. Alasan mereka memilihku, saya kira karena kebanyakan dari debater adalah dari kelas IC, oleh karena itu aku, debater dari kelas reguler memang yang seharusnya pantas menjadi juri final lomba debat antar fakultas saat itu.
Aku duduk bersama dua orang juri lainnya persis di depan panggung finalis. Satu persatu kudengarkan speaker dari masing-masing grup membawa case nya. Motion yang dibawakan pada saat itu adalah "This house would make corruption court in each region of Indonesia" Kelompok affirmatif dipegang oleh kelas IC, sementara ekonomi memegang negatif. Aku ingat latihan bersama kak Fikri bagaimana seorang juri harus bersikap tidak tahu sedikitpun tentang kasus tersebut sama sekali, sehingga informasi yang didapatkan dari debater merupakan satu-satunya informasi yang akan dinilai. Seorang juri juga tidak mengambil kesimpulan dari apa yang debater fikirkan, tapi seorang juri hanya mengambil kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh para debater. Sehingga penilaian tersebut betul-betul murni karena kemampuan yang dimiliki oleh para debater. Juga seorang juri harus mempunyai alasan pada keputusan yang diambilnya, walaupun keputusan itu tidak bisa diganggu gugat atau menjadi mutlak adanya.
Kelompok avirmatif membawa beberapa argumen bahwa terjadi waiting list atau antrian panjang pada pengadilan korupsi di pusat atau di Jakarta. Mereka juga mengemukakan fakta bahwa kurang efektifnya pengadilan pusat di jakarta. Pengadilan jakarta dirasa kurang bisa menjangkau kasus-kasus yang ada pada daerah-daerah yang jauh terlebih pulau diluar jawa. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang terungkap setelah beberapa tahun lamanya.
Kemudian giliran kelompok negatif menjawab proposal yang diajukan oleh kelompok affirmatif. Speaker pertama maju dengan sangat tegang sekali. Kelihatan dari buku yang dipegangnya bergetar, ucapannya yang terbata-bata, pandangan matanya yang kalah beradu dengan dewan juri dan kelompok afirmatif. Aku menjadi setengah berharap untuk menyaksikan pertandingan yang seru antar dua tim yang berebut kejuaraan. Kulihat dua juri yang lain pun sulit mendapatkan poin-poin yang disampaikan oleh speaker pertama. Ah semoga speaker yang kedua nanti bisa mengimbangi kelemahan timnya. Saya kira yang lainpun berharap yang sama. Belum habis waktu yang diberikan untuk speaker pertama, tapi debater ini memilih mengakhiri penderitaannya berdiri didepan dengan beberapa pandangan menyeramkan yang menghujam.
Kini giliran speaker kedua dari kelompok affirmatif memawa implikasi yang lebih jauh tentang proposal yang dibawakannya. Aku tercengang kaget, ketika debater ini mengemukakan pendapatnya bahwa KPK dan pengadilan korupsi ini berbeda. KPK hanyalah bagian yang menginvestigasi dan mencari pelaku korupsi, sementara pengadilan korupsi adalah bagian yang mengadili dan memberikan hukuman terhadap pelaku. Aku menjadi menemukan greget dalam debat ini. Debat ini terlihat seru meurutku bukan karena persaingan keduanya yang sangat bagus, melainkan karena affirmatif membawa naik kasusnya kemudian menurunkannya jatuh kebawah dengan sendirinya. Mereka membunuh dirinya sendiri karena ucapan speaker yang kedua yang tidak hati-hati. Kalau saya simpulkan jadi begini, KPK dan Korupsi itu berbeda. KPK adalah bagian yang mencari dan investigasi, sementara Pengadilan korupsi adalah bagian yang mengadili. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terkuak setelah beberapa tahun pelaku melakukannya. Nah dalam hal ini dibutuhkan pencari dan penginvestigasi para koruptor. Berarti yang kita butuhkan saat ini bukanlah pengadilannya, melainkan investigator dan pencari koruptor yang dalam hal ini adalah KPK yang berwenang.
Keputusan yang menang dan kalah sudah ada dalam pikiranku saat itu. Karena menurutku ini sangat fatal. Ditambah, speaker ke tiga dari negatif begitu perfect menutupi kekurangan timnya.
Aku jadi berfikir, apakah keputusanku itu benar-benar keputusan yang objective atau apakah ada sesuatu yang lain. Ah aku jadi teringat kata-kata kak Fikri di kantin sebelum aku mendatangi mini theater. Ia iseng ngomong "semoga bukan IC lagi yang menang" rupa-rupanya kata-kata itu tidak kusadari mengiringi proses penjurianku pada final lomba debat tersebut. Karena kekagumanku pada kak Fikri membuat hatiku (dibawah alam sadarku) harus berterima kasih dengan melaksanakan pesannya yang tersembunyi.
Disisi lain, Mas Adi sebagai salah satu juri panel pada lomba debat itu juga menyimpan sebuah sugesti yang mungkin dibawah alam sadarnya. Tahun lalu, Mas Adi dan kelompoknya gagal mendapatkan kejuaraan karena berhadapan dengan kelas IC. Kini ketika posisinya menjadi juri, sugesti lembut mengiringi dalam proses penjuriannya.
Satu juri panel lagi, dia adalah tamu dari negeri jiran yang kebetulan punya sedikit waktu luang. Dia dari Malaysa datang ke kampus kami untuk tujuan study banding utusan dari kampusnya di malaysa sana. Dengan senang hati ia membantu, katanya. Ia memenangkan kelompok positif dengan alasan karena manner yang meyakinkan. Eye contact nya yang mengesankan. Dan bahasa inggrisnya yang understandable. Aku berfikir, mungkin hanya dia yang berlaku objective dalam penilaian ini. Tanpa sugesti yang mengiringi dalam proses penjuriannya. Tapi kemudian kulirik buku agendanya:
Vanesya Nurasya - nesya.imoet@yahoo.com – 081 328 551 661
Vanesya adalah speaker pertama dari kelompok affirmatif. Dia termasuk mahasiswi yang sering menjadi buah bibir para mahasiswa karena kecantikannya. Pertanyaannya, apakah Muhammad Irwansyah berlaku objective dalam proses penjuriannya?
Krapyak, ba’da shubuh 13 Mei 2008

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home