I'm in searching process ...

The blog pretty much will be about my expression and thought so that I will be able to walk on this land like a man ...

Monday, July 28, 2008

AKU DAN MANTAN TEMANKU


Galon aqua itu hanya tergeletak saja di pojok ruangan. Sudah dua hari ini aku harus membeli aqua gelas untuk kebutuhan minumku. Dia yang kini menjadi mantan temanku tidak lagi menyapaku, tidak lagi menegurku, tidak lagi mengejekku, dan tidak lagi memintaku untuk mengantarnya ke halte bus yang membawanya ke kampus. Sampai-sampai, gallon aquapun menjadi sasaran perang aku dan mantan temanku. Gallon aqua yang seharusnya langsung terisi kembali, kini tercampakkan begitu saja di pojok ruangan. Tidak aku maupun mantan temanku membawanya ke tempat isi ulang.

Bukan hanya aqua, aku pun tidak kalah menderita dibandingnya. Aku seperti asing berada di kamarku sendiri. Mantan temanku juga terasa asing buatku. Dia datang dan pergi tanpa ada sepatah katapun terlontar dan bertukar dengan kata-kataku. Hanya diam, sunyi dan perbuatannya saja yang menghiasai sosialisasi antara aku dan mantan temanku dalam kamar kost yang kita bayar secara urunan*

Aku hidup dalam diam. Berekspresi dalam diam. Menulis, membaca, menyanyi, menyetrika, melakukan segala aktivitas dalam diam. Diam yang sangat menghabiskan banyak energi. Diam yang menghabiskan banyak waktu. Diam yang membuat mukaku dan muka mantan temanku merengut. Setidaknya seribu sel bekerja untuk mengencangkan kedua pipiku agar tidak tersenyum, bibirku condong agak maju, kedua alisku yang seringkali hampir bertemu, dan kebencian yang amat sangat dari dalam hatiku yang amat, teramat dalam.

Aku teringat terakhir kali aku tidak diam dengannya. Aku bercerita tentang gadis mungil di kampusku. Tubuhnya tidak besar bahkan cenderung kecil. Kecil tubuhnya seakan pas dengan tangannya yang kecil pula. Jari-jarinya yang lentik runcing berhiaskan satu buah cincin bermata berlian. Kecil tubuhnya juga seimbang dengan tinggi badannya dan mungil kedua kakinya. Aku lebih suka menyebutnya proporsional atau si imut ketimbang kecil. Sejak awal aku bertemu dengannya, aku sudah menitipkan hati padanya. Dan mantan temanku selalu memberiku bimbingan konseling dengan gratis.

Begitupun juga mantan temanku. Ia pun menceritakan seorang gadis yang padanya Ia titipkan hatinya diam-diam. Ia bercerita bahwa sore itu gadis itu berada dalam satu angkot dengannya. Ia mencuri-curi pandang. Terus terkagum-kagum oleh indahnya ciptaan tuhan yang sebegitu fantastis. Busana muslimah yang Ia pakai semakin menambah simpati mantan temanku. Karena selera mantan temanku ini memang suka gadis ala timur tengahan (Middle East Style).

Sore itu aku dan mantan temanku tertawa terbahak-bahak karena ternyata, dua gadis yang kita ributkan selama ini adalah dua gadis dari keluarga yang sama. Adalah dua gadis yang mempunyai ayah dan ibu yang sama. Adalah dua gadis yang saling menyayangi satu sama lain. Sudah tentu dua gadis yang saling bercerita satu sama lain. Dua gadis kakak beradik. Informasi itu terungkap ketika masing-masing dari kita berhasil mendapatkan alamat rumah dan nama orang tua dua gadis amazing tadi.

Tawaku dan mantan temanku sore itu adalah tawa terakhir yang pernah aku dan mantan temanku punya. Keesokan harinya suasana berubah seratus delapan puluh puluh derajat. Tak ada senyum, tak ada sapa, tak ada kata, tak ada teman, yang ada hanya aku dan mantan temanku.

***

“kotor banget sih kamarnya, kayak kapal pecah aja” kataku sedikit bercanda dan memang terganggu dengan barang-barangnya yang berantakan kemana-mana. Handuknya yang masih basah tergeletak saja di atas kasurku, baju dan celananya tergantung di atas lemarinya, belum tas-tasnya, kertas-kertasnya, kardus-kardusnya semua terjejer tidak tertata berantakan dikamar kami yang luasnya 5 x 7 meteran. Ia masih diam. “mbok dijawab to kalau ada yang ngomong, serius amat sih” sedikit kupelankan suaraku tapi masih dengan nada menyindir. Tiba-tiba saja dia memandangku dan berkata dengan ketusnya “kertas-kertas yang aku taruh disini kamu buang yah?” masih melotot kepadaku. “Oh kertas-kertas yang lusuh itu ya? Iya aku buang, lha itu kan udah robek-robek Sul, emang masih kepakai yah?”

“kalau enggak, ngapain juga aku nanya kamu?”

“Lagian kamu taruh sembarangan sih”

“Ya kalau itu bukan punya kamu, tanya dulu dong jangan main buang-buang aja” suaranya makin keras dan ketus. Aku merasa terhempit dan mulai memanas juga.

“Kamu yang teledor sih, mbok jadi orang tuh yang rapih. Soalnya itu benar-benar menggangguku Sul! Aku jadi gak betah tinggal di kamar tahu gak?”

“Punya hak apa kamu mengatur-ngatur aku?!” Ia berlalu sambil membanting daun pintu keras-keras”

aku merasa dia sudah cukup keterlaluan. Sekali-sekali dia harus diperingatkan. Semoga ini jadi pelajaran buatnya. Bahwa hidup tidaklah sendiri. Tapi, jauh dari semua kekesalanku, jauh dari keinginanku memberi pelajaran buat Samsul, ada segunung penyesalan dalam hatiku. Aku telah membuatnya sakit hati. Aku telah berbicara kasar padanya. Kertas-kertas itu rupanya beberapa catatan pembelanjaan kegiatan di kampusnya. Sebagai sekretaris Ia bertanggung jawab mengumpulkannya dan akan Ia gunakan untuk laporan pertanggungjawaban. Saat ini mungkin Samsul sedang dikejar-kejar oleh deadline LPJ-nya. Peristiwa itu telah membuatku merubah status Samsul menjadi mantan temanku.

***

Aku tergeletak di kamarku. Perutku mual melilit-lilit. Kepalaku pusing tujuh keliling. Badanku juga panas. Lemas aku tergolek sendiri di kamar kos. Tenggorokanku kering kerontang. Aku melihat sekitar, mencari-cari sesuatu. Kutemukan beberapa sentimeter diatas kepalaku tergeletak botol aqua. Aku berusaha menggapainya dengan tanganku dan tangan kiriku masih memegangi perutku yang semakin menggila. Merem melek aku menahan sakit perutku sambil tangan terus di ulurkan ke arah botol aqua. Botol aqua sudah mulai tersentuh dan “tung!” botol aqua yang sudah kosong itu jatuh. Aku meringis mendapati botol aqua itu sudah tak berisi lagi. Tenggorokanku kering membuatku sakit menelan ludah. Perutku semakin menjadi-jadi. Tak bisa kupaksakan untuk duduk, apalagi berdiri, apalagi berjalan dan apalagi berlari. Aku hanya berbaring miring posisi mi kriting menahan sakit perutku yang terus mendera dan tenggorokan ku yang juga terus meronta. “ngeeek” tiba-tiba pintu terbuka. Samsul datang dengan membawa muka yang terlipat. Melihat keadaanku yang setengah mati, samsul segera menghampiriku. “Kenapa Zam? Kamu sakit yah?” tanyanya. Aku hanya mengangguk lemah. Rupa-rupanya Ia juga melihat airmataku yang menetes sedari tadi menahan sakit preutku yang mendera dan tenggorokanku yang meronta. Dengan tidak minta persetujuan segera Ia merogoh flexinya dan menelpon sebuah taxi. “Atas nama Syamsul di Jl. Ali maksum depan Koperasi Al-Munawwir yah mbak” “warnanya kuning, nomor 234, Oiya makasih ya mbak. Kami tunggu” tanpa banyak bicara Iapun segera memapahku jalan keluar kos. Entah kenapa rasa sakitku sedikit terasa ringan melayang bersama beban yang kupanggul selama ini, bersama tembok yang membatasi selama ini, bersama diam yang menyakitkan selama ini.

“Kemana pak?” tanya supir taxi. “Rumah Sakit Hidayatullah ya pak”

Taxi pun melesat meninggalkan Krapyak. Meninggalkan sengketa hati antara aku dan Samsul. Aku memandang Samsul dengan senyum terbaikku.

“Sul”

“Yah,”

“Terima kasih”

“Sama-sama, bukankah itu gunanya teman?” kata Samsul dengan senyum yang sangat tulus. Dari situ kuketahui bahwa dia bukanlah mantan temanku lagi tapi Samsul adalah temanku. Tidak ada istilah mantan teman. Sekali teman tetaplah teman. Teman akan terus menjadi teman, teman, teman, teman, teman, dan teman.

***

Dua minggu kemudian, aku dan Samsul sudah seperti sedia kala. Bercanda dan bercanda. Baik aku maupun Samsul kini sudah mempunyai update yang baru tentang gadis pujaannya. Nurlaila, gadis pujaan Samsul itu ternyata adalah seorang penulis novel. Samsul bertekad untuk mencoba menulis juga. Seorang pedagang, obrolannya akan nyambung dengan masalah perdagangan dan seorang petani juga akan nyambung obrolannya dengan masalah pertanian. Syamsul berharap dengan novel yang akan ditulisnya bisa menyampaikan sekeping rindu untuk Nurlaila yang telah menawan hatinya. Ia kini banyak membaca novel-novel best seller. Seringkali Ia ceritakan kepadaku menggebu-gebu hasil dari bacaannya. Terkadang aku hanya mengiyakan saja kalau lagi capek pulang kerja. Sementara aku, dengan si imut gadis pujaanku akan melakukan KKN di kelompok yang sama. Aku terpilih menjadi ketua regu KKN. Kini aku sedang mempersiapkan program-program yang hendak aku jalankan nanti. Tentu dengan menempatkan Si imut selalu dekat denganku. Tak kubiarkan si Imut ini jauh-jauh dariku pada saatnya nanti. Biarlah rasa dan bunga cinta akan tumbuh subur dalam cinta lokasi. Kamipun kembali terbahak-bahak seperti yang sudah-sudah.

***

“Hey jangan ganggu aku! Lagi serius nih” Ia menyenggol tanganku yang sedang menulis. Ia menyenggol lagi sampai aku mencoret tulisanku. Ia hanya tertawa, sepertinya sedang senang. Ia kembali menyenggolku “Sul! Jangan ganggu aku!” Ia menghindar dan masih dengan senyum-senyum. Kembali Ia menyenggolku terus dan terus menyenggolku. Kemarahanku hampir saja tumpah. Kemudian aku ingat peristiwa itu. Aku jadi tenang kembali. Samsul melakukan hal ini bukan karena maksud apa-apa. Tapi semata-mata sebuah luapan kasih sayang dan perduli. Aku teringat bagaimana tersiksanya aku dan Samsul dalam diam. Uh sangat tersiksa. Ku biarkan Samsul menyenggolku lagi. Aku hanya menanggapinya dengan guyonan lagi “Aku bunuh loh kamu Sul!”

“Zam aku lagi senang!” “Senang kenapa?”

“aku tadi ngobrol banyak dengan Nurlaila” Ia akhiri kalimatnya dengan senyumnya yang lebar.

Betul dugaanku. Dia sedang senang. Beruntung aku tidak marah. Bisa jadi aku mengacaukan kegembiraannya saat itu. Untuk Samsul, kau adalah teman baikku. Ganggulah aku, ejeklah aku, pukullah aku, tapi jangan diamkan aku.

06.05 WIB Krapyak, 12 Juni 2008


* Kontribusi bersama

Saturday, July 26, 2008

Burung kulepas jauh



Dia bersamaku seharian ini mengurusi kegiatan bazar tahunan di kampus kami. “wah mau dunk telurnya, kayaknya enak” kataku padanya. “mau? nih buat kamu” ia sorongkan telur bulat masak itu.
“nggak kok becanda, aku kan juga sudah makan jatahku. Dan itu jatahmu, makan aja”
“nggak apa-apa, kamu kan sibuk banget. Ketua panitia gituuu. Nih makan satu lagi biar sehat” suruhnya.
Aku pun menolaknya lagi. Aku tahu sebenarnya dia menginginkan telur itu. Sebelumnya si Irwan, temen kami yang gendut memintanya pada Siska, tapi siska tidak memberinya. Sementara ia dengan rela memberikan telur itu padaku. Aku merasakan sesuatu yang lain padanya; yang juga kurasakan pada diriku.
Aku seorang laki-laki. Tapi sangat sensitif dengan hal-hal yang romantis. Sikapnya yang rela berkorban telur untukku membuatku berfikir tentang sesuatu yang indah. Indah dalam bahasa perasaan sana. Lembut mengalir membentuk ruang rindu di dalam hati. Padahal, hal semacam ini akan dianggap biasa-biasa saja oleh orang lain. Tetapi tidak padaku.
Apakah aku sedang jatuh cinta? Wajahnya yang berhias senyum kerap kali muncul dan menggangguku di bangun dan tidurku. Seharian bersamanya, menorehkan kenangan dalam satu ingatan yang selalu flashback. Aku sedang diburu oleh manisnya cinta, sicantik jelita, ujian dunia dan syetan dengan tipu daya. Teringat olehku wajah lelah ayah bekerja disawah. Teringat wajah capek ibu mengasuh adek.
Aku merasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk cinta. Tidak tepat untuk berbahagia sementara. Ini hanya kepuasan nafsu semata, yang tidak seharusnya ada pada diriku saat ini. Tidak! Ini adalah tahun-tahun perjuangan. Ini adalah tahun-tahun merangkai dan merajut prestasi. Agar kelak, wajah lelah ayah tergantikan dengan senyum yang sumringah.
Ya Allah sang penguasa hati mantapkanlah hati ini agar tetap berada dijalanmu.
Ya Allah sang penguasa perasaan, kuatkanlah perasaan ini menahan cobaan rasa yang seringkali mendera.
Ya Allah sang penguasa semangat, taburkanlah api semangat pada hambamu ini. Agar masa mudaku ini akan benar-benar menjadi investasi kelak di kemudian hari.
Amin ...